Selasa, 21 Mei 2013

Perjuangan Cinta Seorang Istri (Kisah Nyata)

"Harta dalam rumah tangga itu bukanlah terletak dari banyaknya tumpukan materi yg dimiliki, namun dari rasa kasih sayang dan cinta pasangan suami istri yg terdapat dalam keluarga tersebut. Maka jagalah harta keluarga yg sangat berharga itu...!"
By. Agustiawan Hapsul Jaat

Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuh...
penulis akan menceritan lagi kisah nyata tapi tetap tokoh dalam cerita ini disamarkan karena berbagai hal atau kejadian yang tidak diinginkan. trimakasih sebelumnya.

Semuanya berawal dari sebuah rumah mewah di pinggiran desa, yg mana hiduplah disana sepasang suami istri, sebut saja Pak Andre dan Bu Rina. Pak Andre adalah anak tunggal keturunan orang terpandang di desa itu, sedangkan Bu Rina adalah anak orang biasa. Namun demikian kedua orang tua Pak Andre, sangat menyayangi menantu satu-satunya itu. Karena selain rajin, patuh dan taat beribadah, Bu Rina juga sudah tidak punya saudara dan orang tua lagi. Mereka semua menjadi salah satu korban gempa beberapa tahun yg lalu.

Sekilas orang memandang, mereka adalah pasangan yg sangat harmonis. Para tetangganya pun tahu bagaimana mereka dulu merintis usaha dari kecil untuk mencapai kehidupan mapan seperti sekarang ini. Sayangnya, pasangan itu belum lengkap. Dalam kurun waktu sepuluh tahun usia pernikahannya, mereka belum juga dikaruniai seorang anakpun. Akibatnya Pak Andre putus asa hingga walau masih sangat cinta, dia berniat untuk menceraikan sang istri, yg dianggabnya tidak mampu memberikan keturunan sebagai penerus generasi. Setelah melalui perdebatan sengit, dengan sangat sedih dan duka yg mendalam, akhirnya Bu Rina pun menyerah pada keputusan suaminya untuk tetap bercerai.

Sambil menahan perasaan yg tidak menentu, suami istri itupun menyampaikan rencana perceraian tersebut kepada orang tuanya. Orang tuanya pun menentang keras, sangat tidak setuju, tapi tampaknya keputusan Pak Andre sudah bulat. Dia tetap akan menceraikan Bu Rina.

Setelah berdebat cukup lama dan alot, akhirnya dengan berat hati kedua orang tua itu menyetujui perceraian tersebut dengan satu syarat, yaitu agar perceraian itu juga diselenggarakan dalam sebuah pesta yg sama besar seperti besarnya pesta saat mereka menikah dulu. Karena tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, maka persyaratan itu pun disetujui.

Beberapa hari kemudian, pesta diselenggarakan. Saya berani sumpah bahwa itu adalah sebuah pesta yg sangat tidak membahagiakan bagi siapapun yg hadir. Pak Andre nampak tertekan, stres dan terus menenggak minuman beralkohol sampai mabuk dan sempoyongan. Sementara Bu Rina tampak terus melamun dan sesekali mengusap air mata nelangsa di pipinya. Di sela mabuknya itu tiba-tiba Pak Andre berdiri tegap dan berkata lantang,

"Istriku, saat kamu pergi nanti... ambil saja dan bawalah serta semua barang berharga atau apapun itu yg kamu suka dan kamu sayangi selama ini..!"

Setelah berkata demikian, tak lama kemudian ia semakin mabuk dan akhirnya tak sadarkan diri.

Keesokan harinya, seusai pesta, Pak Andre terbangun dengan kepala yg masih berdenyut-denyut berat. Dia merasa asing dengan keadaan disekelilingnya, tak banyak yg dikenalnya kecuali satu. Rina istrinya, yg masih sangat ia cintai, sosok yg selama bertahun-tahun ini menemani hidupnya. Maka, dia pun lalu bertanya,

"Ada dimakah aku..? Sepertinya ini bukan kamar kita..? Apakah aku masih mabuk dan bermimpi..? Tolong jelaskan..."

Bu Rina pun lalu menatap suaminya penuh cinta, dan dengan mata berkaca dia menjawab,

"Suamiku... ini dirumah peninggalan orang tuaku, dan mereka itu para tetangga. Kemaren kamu bilang di depan semua orang bahwa aku boleh membawa apa saja yg aku mau dan aku sayangi. Dan perlu kamu tahu, di dunia ini tidak ada satu barangpun yg berharga dan aku cintai dengan sepenuh hati kecuali kamu. Karena itulah kamu sekarang kubawa serta kemanapun aku pergi. Ingat, kamu sudah berjanji dalam pesta itu..!"

Dengan perasaan terkejut setelah tertegun sejenak dan sesaat tersadar, Pak Andre pun lalu bangun dan kemudian memeluk istrinya erat dan cukup lama sambil terdiam. Bu Rina pun hanya bisa pasrah tanpa mampu membalas pelukannya. Ia biarkan kedua tangannya tetap lemas, lurus sejajar dengan tubuh kurusnya.

"Maafkan aku istriku, aku sungguh bodoh dan tidak menyadari bahwa ternyata sebegitu dalamnya cintamu buat aku. Sehingga walau aku telah menyakitimu dan berniat menceraikanmu sekalipun, kamu masih tetap mau membawa serta diriku bersamamu dalam keadaan apapun..."

Kedua suami istri itupun akhirnya ikhlas berpelukan dan saling bertangisan melampiaskan penyesalannya masing-masing. Mereka akhirnya mengikat janji (lagi) berdua untuk tetap saling mencintai hingga ajal memisahkannya. Subhanallah...

Tahukah kalian, apa yg dapat kita pelajari dari kisah di atas? tujuan utama dari sebuah pernikahan itu bukan hanya untuk menghasilkan keturunan, meski diakui mendapatkan buah hati itu adalah dambaan setiap pasangan suami istri, tapi sebenarnya masih banyak hal-hal lain yg juga perlu diselami dalam hidup berumah-tangga. Untuk itu rasanya kita perlu menyegarkan kembali tujuan kita dalam menikah yaitu peneguhan janji sepasang suami istri untuk saling mencintai, saling menjaga baik dalam keadaan suka maupun duka. Melalui kesadaran tersebut, apapun kondisi rumah tangga yg kita jalani akan menemukan suatu solusi. Sebab proses menemukan solusi dengan berlandaskan kasih sayang ketika menghadapi sebuah masalah, sebenarnya merupakan salah satu kunci keharmonisan rumah tangga kita.

Ketulusan Cinta

Ketulusan Cinta
By. Agustiawan Hapsul Jaat


Aku mencintaimu...
Bukan karna wajahmu...
Aku mencintaimu...
Bukan karna hartamu...

Aku mencintaimu...
Dengan ketulusan cintaku...
Yang mengharap kau mampu memberi...
Kebahagiaan dalam hidupku...

Terkadang cintaku...
Kau salah artikan...
Dengan sebuah keinginan...
Untuk memiliki...
apa yg kau miliki...

Cinta yang ku beri tak meminta imbalan...
Karna cintaku tulus ku persembahkan...
Pada dirimu wahai pujaan...
Yg terpilih menjadi teman dalam kehidupan...

Sahabat Sepiku

Sahabat Sepiku
By. Agustiawan Hapsul Jaat

 

Sahabat sepiku adalah pena...
Yg slalu ada tuk mewarnai jiwa...
Walau terkadang coretanku memaksaku tuk mengeluarkan air mata...

Dikala ku ingat luka lama...
Terkadang coretan penaku membuatku tertawa...
Jika ku teringat masa-masa bahagia...

Saat ku sendiri...
Jiwa terasa sepi...
Hanya sebuah pena yg menemani...
Sebagai penghibur diri...
Ku coretkan isi hati tertuang dalam puisi...

Senin, 20 Mei 2013

MENGAPA RIDHO SUAMI ITU SYURGA BAGI ISTRI

MENGAPA RIDHO SUAMI ITU SYURGA BAGI ISTRI
By. Agustiawan Hapsul Jaat



Bismillaahir Rahmaanir Rahiim...
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

  1. Suami dibesarkan oleh ibu yang mencintainya seumur hidup. Namun ketika dia dewasa, dia memilih mencintaimu yang bahkan belum tentu mencintainya seumur hidupmu, bahkan sering kala rasa cintanya padamu lebih besar daripada cintanya kepada ibunya sendiri.
  2. Suami dibesarkan sebagai lelaki yang ditanggung nafkahnya oleh ayah ibunya hingga dia beranjak dewasa. Namun sebelum dia mampu membalasnya, dia telah bertekad menanggung nafkahmu, perempuan asing yang baru saja dikenalnya dan hanya terikat dengan akad nikah tanpa ikatan rahim seperti ayah dan ibunya.
  3. Suami ridha menghabiskan waktunya untuk mencukupi kebutuhan anak-anakmu serta dirimu. Padahal dia tahu, di sisi Allah, engkau lebih harus di hormati tiga kali lebih besar oleh anak-anakmu dibandingkan dirinya. Namun tidak pernah sekalipun dia merasa iri, disebabkan dia mencintaimu dan berharap engkau memang mendapatkan yang lebih baik daripadanya di sisi Allah.
  4. Suami berusaha menutupi masalahnya dihadapanmu dan berusaha menyelesaikanny­a sendiri. Sedangkan engkau terbiasa mengadukan masalahmu pada dia dengan harapan dia mampu memberi solusi. padahal bisa saja disaat engkau mengadu itu, dia sedang memiliki masalah yang lebih besar. namun tetap saja masalahmu di utamakan dibandingkan masalah yang dihadapi sendiri.
  5. Suami berusaha memahami bahasa diammu, bahasa tangisanmu sedangkan engkau kadang hanya mampu memahami bahasa verbalnya saja. Itupun bila dia telah mengulanginya berkali-kali.
  6. Bila engkau melakukan maksiat, maka dia akan ikut terseret ke neraka karena dia ikut bertanggung jawab akan maksiatmu. Namun bila dia bermaksiat, kamu tidak akan pernah di tuntut ke neraka karena apa yang dilakukan olehnya adalah hal-hal yang harus dipertanggung jawabkannya sendiri.

Subhanallah...

Rabu, 15 Mei 2013

Puisi Cinta : Semua karna cinta

Semua karna cinta
By. Agustiawan Hapsul Jaat

 
Di saat jiwaku rapuh...
pupus akan harapan esok...
Kau hadir dalam cahaya surga...
Menjelmakan lagi sesuatu yang sudah kuingkari...
Cinta. Aku memikirkanmu...
Mengapa kau isi jiwaku yang kosong???
Membuat hari-hari yang kelabu menjadi berwarna???
Aku tahu kau tak mengharap kehadiranku masuk dalam kehidupanmu...
Bahkan itu tak pernah secuil terlintas dalam benakmu...
Tapi melebihi itu … kau berikan semangat itu...
Agar aku berani menghadapi dunia...
Meskipun tak kau sadari...Oh, cinta...

Jumat, 10 Mei 2013

Kutunggu Kau Di Surga, nanti…


Kutunggu Kau Di Surga, nanti……

Hatimu mungkin dahulu belum lama di hati ini, namun kau akan menjadi selamanya di surga nanti, bersamaku dan Tuhan…

-AGUSTIAWAN HAPSUL JAAT-


Kisah ini aku alami sendiri sekitar akhir tahun 2012 lalu. Saat pertama kali aku berkenalan dengan seorang wanita yang hingga sekarang aku cintai. Dan inilah kisah cintaku yang tidak bisa aku lupakan seumur hidup...

Aku melirik jam tanganku, ternyata sudah jam 8 pagi. Saat itu aku berada didepan kantor ku aku. Dengan tergesa-gesa aku pun berjalan menuju ruanganku karena jam kerja sudah dimulai. Saat aku berjalan, secara tidak sengaja aku menabrak seorang gadis yang kebetulan juga datang terlambat.

"Aduh maaf, enggak sengaja." kataku sambil membantu memunguti barang-barangnya yang jatuh karna aku tabrak tadi.

"Oh, tidak apa-apa kok. Lain kali hati-hati ya…" kata gadis itu dengan ramah.
"Iya maaf ya. tadi itu engga sengaja, hehe. Ngomong-ngomong kamu mau kemana? kok bisa terlambat?" tanyaku pada gadis itu, berusaha seramah mungkin.

"Saya kerja disini mas, Minggu kemarin dipindah tugaskan dari Belitung kesini. Saya terlambat gara-gara tadi nggak tahu angkutan umum yang mana yang harus saya naiki untuk menuju kesini. Kamu sendiri kerja disini juga? Kok terlambat juga?" tanya gadis itu padaku dengan penuh tanda tanya di raut wajahnya.

“Waaahhh, hehehe,.. kalo itu mah jangan ditanya. Namanya juga cowok..." kataku padanya
"Ohhh haha, iya-iya ngerti.. Kira-kira kita satu ruangan enggak ya? kayaknya satu ruangan deh.." jawabnya.

"Iya, gimana kalo kita barengan aja jalannya? sembari ngobrol gitu.." “iya deh kalo gitu..”
Kemudian kami pun berjalan bersama menuju ruangan dan kursi kami masing-masing. Dalam hati aku masih bertanya-tanya siapa nama wanita itu. Terbesit dalam hatiku untuk menanyakan namanya. Tapi setelah aku memikirkannya lagi, alangkah baiknya aku menanyakannya saat istirahat nanti.

Saat istirahat kantor tepatnya pukul jam 12, aku pun langsung menuju warung makan tempat favoritku. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Aku kembali bertemu dengan gadis itu di warung yang sama. Aku memang bermaksud untuk menemuinya saat istirahat kantor, sekadar berbincang dan menanyakan namanya.

"Eh, ketemu lagi. Mau kemana nih?" tanyaku.
"Iya nih, saya mau ke warung juga." jawab gadis itu dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya.
"Oh,,,sama dong. Eh ngomong-ngomong kita belum kenalan nih. Masa iya satu kantor tapi belum kenal satu sama lain, hehe. Nama kamu siapa?" tanyaku padanya. Aku benar-benar menginginkan ia menjawabnya. Entah kenapa rasa penasaranku muncul tiba-tiba. Ah, ku pikir itu hanyalah sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab oleh diriku sendiri.

"Namaku Rini Herlina Wulandari panggil saja Rini, nama kamu??" seramah mungkin iya bertanya padaku.

"Panjang banget namanya, haha. Namaku Agustiawan. Panggil saja Gusti…" jawabku. "Terus alamat rumah kamu dimana?"

"Saya ngekos disini, Gus” jawabnya. Aku tertawa kecil ketika mendengarnya menjawab pertanyaanku. Yaa aku tahu, sebagian orang yang migrasi dari suatu tempat dan bekerja di daerah lain pasti akan mengambil rumah kontrakan atau kos-kosan sebagai tempat tinggalnya.

“Iya aku tau, tapi maksudku ngekos dimana, Rin?” tanyaku sambil tertawa kecil. “Oh hehe, aku ngekos di Jalan Balai Gang. Merpati, depan Puncak swalayan" tukasnya.

"Oh kalo aku tinggal di Jl. Kayu Putih, Bukit Merapin." kataku padanya.

Dan itulah awal perkenalanku dengan gadis yang bernama Rini. Akhirnya perkenalan itu berlanjut ke pendekatan. Mengingat zaman sudah canggih, tak lupa juga kami saling bertukar nomor handphone saat itu. Setiap hari kami selalu berangkat kerja bersama-sama, bahkan teman-teman kantor kami mengira bahwa kami mempunyai hubungan khusus, karena dari awal Rini bekerja, kami selalu terlihat bersama.

Tak terasa 1 bulan lebih aku berteman dengan Rini. Dari awal pertemuan kami, memang perasaanku mengatakan nyaman ketika bersama dengannya. Ternyata benih-benih cinta muncul. Aku mulai jatuh cinta padanya, tapi hatiku masih takut untuk mengutarakan perasaan cintaku padanya. Perlahan rasa ini semakin ada untuknya. Aku pun bertekad untuk memberanikan diriku mendekatinya lebih dari sekedar teman. Apalagi coba kalau bukan pacar?

Aku berusaha untuk memberanikan diriku untuk menyatakan perasaanku pada Rini. Aku berencana untuk menyatakannya saat jam pulang kantor tiba. Bukan menyatakannya di kantor ataupun di jalan pulang kelak, namun di sebuah tempat yang mungkin juga tak asing lagi baginya. Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.

"Rini, pulang kerja nanti aku ajak kamu ke taman, ya hanya sekadar untuk bersantai. Mau ya?" kataku padanya setengah memelas.

"Ada apa, kok tiba2 ngajak ke taman?" tanya Rini, raut wajahnya menunjukkan ia setengah bingung dengan permintaanku. Aku pun berusaha membuatnya penasaran agar sedikit terlihat lebih spesial.

"Ada deeehh.. kamu mau atau enggak?" tanyaku lagi lebih serius. Kali ini aku benar-benar menginginkan jawabannya, mau atau enggak.

Masih dengan rasa penasaran yang menggelayut di hatinya, Rini mengiyakan permintaanku. Aku benar-benar senang dengan jawabannya. Aku hanya perlu mempersiapkan diriku untuk mengatakan hal itu padanya nanti.

Tepat jam kantor usai, aku menunggu Rini untuk berangkat bersama menuju ke taman yang aku maksud. Setelah beberapa menit kemudian, kami sampai ditempat tujuan. Kami mencari kursi taman yang kosong.

"Ada apa sih Gus, kok ngajak kesini?" tanya dia sambil duduk disampingku. Terlihat bahwa ia benar-benar masih penasaran. Dengan wajah meyakinkan, aku menjawab pertanyaannya.

 "Ada suatu hal yang ingin aku bicarakan padamu." tukasku sambil merubah posisi duduk setengah menghadap kearah Rini.

"Mau ngomong apa, Gus?" tanya Rini lagi. Kali ini iya benar-benar tidak sabar dan rasa penasarannya meningkat dua kali lipat dibandingkan tadi. Aku masih bingung kata-kata yang harus aku ucapkan padanya. Entah kenapa aku jadi sedikit bertele-tele saat itu. Aku memutuskan untuk bertanya padanya.

"Tapi kamu jangan marah ya kalo aku omongin hal itu?" pintaku padanya. Rasa takut mulai menghampiriku. Takut jika Rini nanti marah waktu aku bicarakan hal ini padanya. Tapi rasa ini benar-benar sudah meluap-luap seperti air mendidih, berharap segera tersampaikan agar benar-benar lega.

"Iya, aku nggak akan marah kok," janjinya padaku. Ada sedikit rasa tenang ketika itu.
"Aku…..,"
"Aku apa???" tanyanya semakin penasaran.
"Aku….jatuh cinta sama kamu. Aku sayang sama kamu. kamu mau nggak jadi pacarku?"

Sejenak Rini terdiam setelah mendengar kata-kata itu dariku. Aku benar-benar gelisah saat itu. Perasaanku kalang-kabut melihat ekspresi yang ia tunjukkan setelah aku nembak dia.

"Kenapa Rin, kok diam? Kamu marah ya sama aku? Maaf ya…"
"Eh, enggak. Aku nggak marah kok…Cuma bingung aja mau jawab apa dari kata-kata kamu barusan…"

"Emangnya kamu mau jawab apa?"
"Emmmm, aku malu jawabnya Gus…"
"Jawab aja rin, nggak apa-apa kok…" kataku meyakinkan dirinya bahwa nanti aku enggak bakalan ada apa-apa, apapun jawabannya nanti, aku akan berusaha menerimanya. Aku hanya butuh jawaban darinya.

"Sebenarnya aku juga suka sama kamu sejak 1 bulan yang lalu. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, aku enggak mungkin ungkapin sama kamu. Takut kamu marah kalo aku bilang bilang itu sama kamu."

"Ehm...terus gimana? kamu mau nggak jadi pacar aku?" tanyaku lagi.
"Aku mau jadi pacar kamu, Gus.." jawab Rini sambil tersenyum. Bagaikan anak kecil yang diberi permen, aku senang bukan kepalang dengan jawaban Rini barusan. Tak hentinya aku mengucapkan rasa syukur pada Tuhan.

"Alhamdulillah.. makasih ya Allah. makasih ya, Rini.."
Akhirnya kami pun resmi berpacaran sejak saat itu. Kebersamaan kami jadi semakin dekat dan hari demi hari kami lalui dengan bahagia walaupun pada saat itu aku harus bekerja di tempat lain dikarenakan suatu hal (bukan dipecat loh, tapi saya buka usaha sendiri). Bahkan saat menjalani rutinitas kami masing-masing, aku jadi mempunyai semangat baru setelah memiliki seorang pacar. Dan Rini juga pernah berkata bahwa ia merasakan hal yang sama.

Hari berganti hari. Tak terasa sudah hampir masuk bulan ke 3 kami berpacaran. Namun, hubungan kami selama ini tidak berjalan mulus begitu saja. Dengan kesabaran ekstra kami menjalaninya dan menyelesaikan masalah demi masalah dengan pikiran dewasa. 

Suatu hari, Rini kuajak jalan-jalan pagi ke taman kota. Tentu saja aku menjemputnya terlebih dahulu di rumahnya. Setelah itu, kami lari pagi bersama mengelilingi taman itu. Setelah selesai, seperti biasa kami hanya sekadar duduk-duduk berisitirahat dan bercanda disana. Suatu ketika Rini bertanya padaku.

"Bang, adek boleh nanya enggak?" tanya dia padaku.
"Boleh dong. Memangnya kamu mau tanya apa?"
"Selama kita pacaran kamu merasa ada yang aneh enggak sama aku?"
"Hmmm, nggak ada yang aneh kok. Cuma abang ngerasa kalo akhir-akhir ini wajah kamu sering sekali pucat. Kamu sakit ya?" jawabku pada Rini.

"Ooohh.. itu mungkin karena adek terlalu kecapean aja. Ya syukurlah kalo memang abang nggak ngerasa ada yang aneh sama aku…" jawabnya.

"Eh, dah jam 8 nih, kita pulang yuk.." ajak Rini padaku.
"Eh iya nih. Udah mau pulang ya? Oke lah..." jawabku.

Kemudian kami pun pulang. Setelah mengantarkan dia pulang ke kosannya, aku pun langsung berpamitan kepada orang tua Rini yang pada saat itu orang tuanya lagi berkunjung melihat keadaan anaknya didaerah orang lain. Di perjalanan pulang kerumah, gelisah menghampiriku. Aku terus memikirkan kata-kata Rini di taman tadi. Tidak mungkin dia tiba-tiba bertanya seperti itu kalau alasannya cuma kecapean doang. Rasanya ada yang benar-benar mengganjal saat itu.

Dua hari kemudian, saya mendapat telepon dari ibundanya Rini.

"Halo, ini nak Gusti ya?" tanya ibunya dari seberang sana.
"Iya, saya Gusti. Ada apa, Bunda?" jawabku dengan rasa sedikit aneh.
"Nak Gusti, cepat kerumah sakit sekarang ya nak. Rini jatuh dari tangga kantor…” kata bundanya dengan nada cemas.

"Ha…? Kok bisa gitu bunda?! Memangnya Rini habis ngapain sih bunda?" tanyaku cemas. Aku benar-benar tak kuasa menahan emosi dan rasa cemasku.

"Bunda juga kurang tau nak, mending kamu kesini sekarang ya nak.."
"Iya bunda. Sekarang aku akan kesana.."

Dengan tergesa-gesa, aku pun langsung pergi ke rumah sakit tersebut. Disana aku pun langsung tersentak kaget bukan kepalang. Ternyata dia sekarang lagi berjuang di ruangan ICU. Aku benar-benar cemas dan sedih. Perasaanku saat itu rasanya tak dapat aku ungkapkan. Khawatir, takut, sedih, semua bercampur aduk.

"Kok bisa begini sih bunda?" tanyaku pada bundanya.
"Nggak tahu nih. Tadi kata dokter yang menangani Rini, ada pendarahan pada otak belakangnya.." jawab bundanya yang masih kalut. Kemudian aku pun bertanya pada dokter yang langsung menangani Rini saat itu. Tetapi jawaban sang dokter membuatku bagaikan disambar petir disiang bolong. Karena mendengar penjelasan sang dokter tersebut membuat aku tak kuasa untuk melanjutkan mendengar penjelasannya tersebut.

Lantas aku dan keluarga Rini berencana membawa Rini menuju rumah sakit yang ada di Jakarta yang mempunyai alat medis lebih memadai dibandingkan di kotaku. Kami pun menyiapkan berkas-berkas serta keperluan untuk menuju rumah sakit disana yang sebelumnya telah dirujuk oleh rumah sakit di daerahku.

"Sepertinya saudara Rini sudah tidak dapat tertolong lagi," kata dokter yang menangani Rini.
Belum sempat kami berangkat menuju Jakarta, kabar bahwa Rini tidak tertolong lagi membuatku benar-benar down. Aku benar-benar tidak percaya dengan semua ini. Bukankah takdir sedang bermain-main padaku? Bukankah ini semua hanyalah sebuah permainan kecil untuk membohongiku? Ternyata tidak. Ini adalah sebuah kenyataan dimana aku harus kehilangannya. 

Seketika aku, ibunda Rini dan keluarganya langsung menangis. Tepat pukul 10  pagi, Rini menghembuskan nafas terakhirnya. Innalillahi wainnalillahirojiun. Kami langsung menangis. Aku lah yang paling bersedih karena harus merelakan cintaku pergi untuk selamanya. Aku rasa Tuhan tidak adil padaku. Baru saja aku merasakan hangatnya kasih sayang Rini untukku, tapi Tuhan telah mengambilnya lebih dahulu. Terlintas dipikiranku untuk bertanya pada Allah, kenapa tidak aku saja yang kau cabut nyawanya, ya Allah? Namun Allah mengajariku untuk menerima kenyataan pahit ini. Aku segera beristighfar dan serta belajar merelakannya. 

Keesokan harinya, jenazahnya pun lantas dimandikan, dikafani, dan disholatkan. Setelah itu jenazah pun dimakamkan di pemakaman umum tempat kelahirannya dengan diiringi isak tangis dariku, ayah dan ibundanya, adik-adiknya, serta kerabat dekatnya.

Hari demi hari berlalu, satu minggu sudah almarhumah Rini meninggalkan aku dan keluarganya untuk selamanya. Rasanya masih tidak percaya bahwa cinta sejatiku itu pergi begitu cepat. Sedih yang beriringi tangisku kembali muncul saat aku mengenang semuanya. Semua yang sempat kami lalui. 

Tepat pada malam ke 8 sekitar jam 12.00 malam saat saya sedang mengaji dan membacakan Surah Yasin untuk almarhumah, tiba-tiba saya dikejutkan oleh kedatangan arwah dia yg muncul didepanku.

"Rini, kkaaaa..kamu kok datang kesini??" tanyaku terbata-bata. Rasanya senang dapat bertemu lagi dengan bidadariku itu. Tuhan, apakah ini mimpi? Aku merindukannya, benar-benar merindukannya. Bukankah Rini telah meninggalkanku? Tapi kenapa Rini muncul lagi dihadapanku?. Didalam hatiku yang paling dalam aku berharap ini adalah kenyataan bahwa Rini belum pergi untuk menghadap-Nya.

"Abang, jangan takut ya… Adek datang bukan untuk mengganggu abang, adek cuma ingin memberitahu abang kalau adek sangat mencintai dan menyayangi abang. Sekarang adek akan pergi ke alam adek, doain adek ya bang agar bisa tenang. Selamat tinggal cinta sejatiku.." kata arwah Rini padaku.

"Iya, abang akan selalu berdoa untukmu sayang. Selamat tinggal..." jawabku. 

Seketika air mataku menetes di pipiku. Arwah Rini telah lenyap ditelan kegelapan malam. Ya, itu adalah arwah cinta sejatiku, cinta yang abadi untuk selamanya. Aku akan terus belajar mengikhlaskannya karena Rini benar-benar telah tiada, yang telah pergi bersama dengan penghuni surga. Jauh dari lubuk hati ini yang paling dalam, aku selalu berdoa untuk ketenangannya disana, berdoa untuknya agar dimudahkan di alam kubur dan selalu mendapatkan rahmat dari yang Maha Kuasa. Semoga Tuhan memberikan surganya untuk kekasihku disana, di alam yang tak dapat ku gapai. Semoga cinta sejatiku itu akan tetap hidup dihatiku untuk selamanya...


…THE END…

Kisah ini khusus kupersembahkan untuk :
Bidadari surgaku : “ALM. RINI HERLINA WULANDARI”, semoga kau mengingat kisah kita di masa lalu dan selalu berdoa untuk kebersamaan kita di akhirat nanti..
Dari : AGUSTIAWAN HAPSUL JAAT

DiRevisi Oleh : NURUL AZMI (@nrl_azmi)

Tanpa Kekasih

Tanpa Kekasih
By. Agustiawan Hapsul Jaat



Setalah genap 2 tahun aku jadian dengan "...", aku semakin yakin kalau aku tidak salah pilih dan benar-benar sudah menemukan belahan jiwaku, cinta sejatiku, cahaya hidupku, "..." adalah segalanya bagiku. Aku mencinta dia dan akan selalu menyayangi dia untuk selamanya. Saat ini aku merasa puas karena penantian, dan usahaku selama ini berbuah kebahagiaan.

Telah sekian lama aku merasa menanti
"..." menjadi milikku seutuhnya. Akhirnya, cerita cintaku saat ini sudah happy ending, tingal sekarang aku dan "..." yang menjalaninya. Dulu kami sering sekali bertengkar, hanya karena hal-hal kecil, kadang kami sampai ribut tidak menentu. Dulu sebagai teman, kami memang bukan teman yang cocok, kami saling menjatuhkan dan saling membenci. Tapi sekarang, benar kata orang-orang, kalau kamu membenci seseorang janganlah kamu sampai terlalu dan hasilnya sekarang perasaan itu menjadi kebalikan bagi aku dan "..." , justru kami sekarang saling mencintai dan menyayangi. Tapi yang jelas, aku juga tidak mau kehilangan "...", aku takut juga kalau aku terlalu mencintai dan menyayangi dia, bisa jadi aku dan dia akan terpisahkan.

“Hei,,,kamu lagi ngapain? aku kangen dech sama kamu..”
“Halo
"...", kan baru kemarin kita ketemu, kamu gimana sih?”
“Ela, kamu baik-baik ya di sana, jaga diri kamu dan jangan pernah lupakan aku ya sayang.”

“Kamu ngomong apa sih
"..." ? Kamu ngigau ya...?”
“Nggak, maksud aku kamu jangan macam-macam di sana, kan di kampus kamu banyak banget tuh cewek-cewek keren, entar ada yang godain kamu lagi, trus kamu lupain aku...”
“Ha...ha...ha ya tidak dong sayang, aku tidak akan tergoda sama cewek-cewek di kampus ini, tidak ada yang kayak kamu di sini dan yang aku mau cuma kamu seorang...”

“Hei,,,kamu sudah pintar ngegombal yah, siapa yang ngajarin, ayo ngaku...?”
"...", kamu apaan sih?! Udah lah, aku mau kamu kasih aku kepercayaan untuk berteman dengan teman-temanku. Asal kamu tau aku berterima kasih banget selama ini sama Tuhan karena aku udah bisa memiliki kamu.”

“Iya Ela, dan asal kamu tau juga cintaku lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan selama ini.”

Satu hal inilah yang selalu ditakutkan
"..." , dia selalu bilang aku akan tergoda oleh cewek-cewek di kampus, sementara aku tidak begitu...? Justru akulah yang paling takut "..." yang akan berpaling dariku, dia akan pergi meninggalkanku selamanya, dan cintanya hilang untukku. "..." sekarang kerja di salah satu swalayan terkemuka di kota itu, sebagai cewek kalau kita melihatnya dengan kesan pertama, dia adalah cewek yang diimpi-impikan semua cowok, karena "..." punya segalanya, dengan modal wajah yang cantik, prilaku yang baik, kerja yang mapan, akupun takut dia akan pergi dariku, kalau seandainya ada cowok yang lebih menarik dariku, lebih sederajat dengan dia.

"..." menggenggam tanganku erat sekali, aku merasakan kenyamanan saat dia memegang tanganku. Aku merasakan cintanya begitu kuat untukku. Saat kami masuk ke sebuah toko buku, "..." bilang dia akan membelikan aku sebuah buku sastra yang dulu sudah pernah dibacanya dan sekarang dia ingin aku juga membaca buku itu. Setelah "..." membayar buku tersebut, "..." langsung menyerahkannya padaku. Aku kaget membaca sinopsisnya, ternyata buku itu berisi tentang kekuatan cinta yang tulus, yang akhirnya terpisahkan oleh maut, dan bagaimana sakitnya hati seorang kekasih saat menghadapi peristiwa kematian itu.

"..." , kenapa kamu kasih aku buku kayak gini?”

“aku pengen banget kamu baca buku ini, karena kalau kamu baca buku ini, kamu bakal lebih mengerti lagi apa itu cinta sejati, kamu akan merasakan betapa sangat berartinya orang yang mencintai kamu, pokoknya ceritanya bagus deh, kamu pasti tidak bakalan menyesal kalau baca buku ini dan setelah membacanya, aku juga yakin kamu akan semakin sayang sama aku, he...he...he...
“Ih, kamu...!! Ke-GR-an banget sih kamu, masa cuma gara-gara baca buku ini aku bisa semakin sayang sama kamu.”

“Eh, benaran, percaya sama aku. Kalau tidak, kamu boleh musuhin aku lagi kayak dulu.”

"..." !!! Kamu ngomong apaan sih, ya sudah-sudah, aku baca bukunya, kamu kira aku bakalan senang kalau kita musuhan lagi...”

"..." aneh sekali hari ini. Tadi siang dia ngomong yang tidak-tidak di telpon dan malam ini dia juga menyuruhku membaca buku yang isinya aneh, tentang kematian. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang, kata kematian terasa terngiang-ngiang di telingaku. Entah kenapa aku semakin ketakutan, takut akan kematian, takut akan kehilangan. Peganganku semakin aku kuatkan ke pinggang "...", aku peluk pungungnya dan aku sandarkan wajahku ke sana. Aku merasakan lagi kalau aku bersama "...", saat ini mungkin "..." sedang tersenyum karena dia merasakan cintaku besar untuknya.

Sambil mengenderai motornya, sesekali dia menoleh ke belakang untuk melihatku,
"..." seperti orang yang was-was. Aneh, di sepanjang jalan aku terus kepikiran dan akhirnya bunyi keras dan goncangan hebat membuat aku kaget, tidak hanya goncangan, tapi sakit yang luar biasa di kepalaku, aku merasakan pusing serasa dunia ini berputar sangat kencang sekali, penglihatanku kabur, aku berusaha untuk menyadarkan diriku sendiri, apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba aku melihat "..." yang sedang tidur di jalanan, samar-samar aku melihat dia seolah-olah tidur nyenyak, aku merasa mimpi, mana mungkin "..." tidur di jalan, perasaan baru tadi aku boncengan dengan dia. Aku berjalan mendekati dia, tapi orang-orang yang ramai lebih dulu menghampiri dia, aku semakin kesakitan, aku nggak kuat lagi dan akhirnya yang aku lihat hanya kegelapan.

“kamu tidak apa-apa sayang, ini Mama.”
Aku pandangi wajah Mama. Dia seperti orang yang ketakutan, aku melihat sekelilingku, tiba-tiba aku baru sadar, selintas kejadian tadi malam teringat lagi olehku.

“Ma,
"..." mana? Dia baik-baik aja kan?”
“nanti saja, kamu istirahat dulu, kamu masih sakit sayang.”
“tidak Ma, aku tidak merasakan sakit apa-apa, sekarang aku mau lihat
"...", dimana dia Ma?”
“sayang, luka kamu belum kering betul, tadi kamu terus-terusan ngigau kalau kamu ngerasain sakit.”
“Ma, aku tidak merasa sakit, benaran, tidak tahu kenapa aku merasa sehat dan kuat Ma, sekarang pokoknya aku mau ketemu
"...", pasti saat ini dia butuhin aku banget.”
“saat ini
"..." tidak butuh siapa-siapa lagi, dia sudah aman sayang, dia sudah tenang di sana, sekarang sudah bahagia dengan kehidupannya sendiri, ada yang menjaga dia di sana...”
“Apa? Apa Ma, maksud Mama? Mama bohong!! aku tidak percaya, tidak mungkin, tidak mungkin itu terjadi sama
"...", dia sudah janji Ma tidak akan pernah ninggalin aku, dia sayang aku, aku sayang "..." Ma...tidak, tidak mungkin...

Teriakanku membuat semua suster datang ke tempatku, mereka berusaha menenangkanku, tapi aku tidak bisa, air mataku mengalir terus tiada hentinya, salah seorang suster baru saja akan memberiku suntikan penenang, tapi cepat-cepat aku elakkan.

“Tolong jangan suster, saat ini aku tidak butuh itu, aku hanya ingin menangis, aku tidak rela, aku marah sama
"..." , kenapa dia berani pergi ninggalin aku, padahal dulu dia sudah janji tidak akan pernah pergi dariku, tapi kenapa "..." bohong, kenapa sekarang justru dia pergi selamanya, dan aku tau dia tidak akan pernah kembali lagi kan untukku...? Kenapa kamu tinggalin aku "..." ???”

“sayang, ini sudah takdirnya, waktu
"..." sudah habis di dunia, kamu jangan pernah marah sama "..." sayang. Kamu harus yakin kalau sekarang "..." sudah bahagia di sana.”
“Ma, kenapa justru
"..." , kenapa buka aku saja yang ada di sana? aku mau kok Ma, Menggantikan "..." , karena aku sayang sama "..." Ma, atau biarkan aku untuk bersama dia sekarang, aku pengen menyusul dia Ma, aku tidak mau hidup di dunia ini tanpa dia, percuma Ma, percuma kalau tidak ada "..." di sini, hidup aku tidak ada arti apa-apa...”

Dengan cepat suster-suster itu memegang seluruh tubuhku dan sesaat kemudian aku tertidur, di alam mimpi
"..." datang padaku. Dengan pakaian yang serba putih "..." tersenyum padaku, dia berjalan mendekatiku, dia kelihatan senang sekali, seolah-olah dia mendapatkan kebahagiaan yang baru, yang tiada duanya di dunia, melihat "..." terus-terusan tersenyum, rasanya aku ingin sekali ikut bersama dia, ikut merasakan kebahagiaan yang dia rasakan saat ini. Aku berusaha memeluknya dan menggenggam tangannya, dia membalas pelukanku, dia mendekapku, kembali aku meerasakan kenyamanan bersamanya, aku merasakan dia memberiku kekuatan, ketegaran, dia membelai rambutku dengan penuh rasa sayang, tapi pelan-pelan dia melepaskanku, dia justru menjauh dariku, semakin jauh, jauh dan hilang dari penglihatanku.

Saat aku sadar, aku menangis lagi, aku bukan menangis karena menahan sakit pada kepalaku, tapi aku menangis karena hatiku yang terasa amat sakit. Sekarang dunia bagiku terasa kelam, hujan tidak hanya membasahi bumi, tapi hujan membasahi kehidupanku, hatiku seolah-olah tidak berhenti menangis, menangisi orang yang telah pergi untuk selama-lamanya, dia tidak akan pernah kembali lagi.

Tiba-tiba mataku tertuju pada buku yang ada di atas meja, aku baru ingat kalau itu adalah buku yang dibelikan
"..." kemarin. Aku buka satu demi satu halaman buku itu, beberapa menit kemudian aku tenggelam dalam ceritanya. Aku menangis membaca buku itu, sekilas aku seolah-olah melihat wajah "..." tersenyum di langit yang mendung di luar sana.

Entah kenapa sekarang aku kembali merasakan kekuatan itu, kekuatan cinta yang diberikan oleh
"..." , aku merasakan dia ada di dekatku, merangkulku, menenangkanku, aku dapat merasakan cinta dan sayangnya. "..." , aku sangat mencintai dan menyayangi kamu, aku yakin kamu bahagia di sana, walaupun kamu sudah pergi dari kehidupanku, tapi kamu tidak akan pernah pergi dari hatiku, kamu abadi untukku, "..." . Aku akan buktikan, kematianmu tidak akan pernah mengakhiri cintaku.